Beranda | Artikel
Hadits Tentang Menuntut Ilmu dan Keutamaan Para Ulama
Rabu, 30 Desember 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Hadits Tentang Menuntut Ilmu dan Keutamaan Para Ulama merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah كتاب صحيح الترغيب والترهيب (kitab Shahih At-Targhib wa At-Tarhib) yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Rabu, 15 Jumadil Awal 1442 H / 30 Desember 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Bahaya Mencontohkan Keburukan

Kajian Tentang Hadits Menuntut Ilmu dan Keutamaan Para Ulama

Kita masuk ke كتاب العِلم, anjuran untuk menuntut ilmu, mempelajarinya dan mengajarkannya dan tentang keutamaan para ulama dan orang-orang yang menuntut ilmu.

Ilmu yang beliau maksud di sini adalah ilmu Din (agama), ilmu tentang Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dimana ilmu adalah cahaya di dalam kehidupan ini. Kita hidup di dunia seperti kita berjalan di malam yang amat kelam. Kita butuh cahaya untuk bisa melihat jalan. Dan cahaya itu adalah ilmu yang berasal dari Allah dan RasulNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan kitab suciNya, mengutus para Rasul dan memberikan wahyu kepada mereka tiada lain adalah untuk membimbing kita kepada keridhaanNya, kepada surgaNya yang luasnya seluas langit dan bumi.

Maka dengan kita mempelajari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup kita insyaAllah akan terbimbing.

Adapun perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa sumber radikal itu adalah akibat terlalu dalam mempelajari ilmu agama, ini ada kesesatan yang nyata. Tidak mungkin orang yang betul-betul mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah dia akan menjadi orang yang tersesat. Kecuali kalau radikal yang dimaksud oleh mereka itu adalah radikal yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka. Dimana setiap yang tidak sesuai dengan keinginan mereka dianggap radikal. Jika orang-orang yang berpegang kepada Sunnah, orang-orang yang menjauhi syirik dan bid’ah disebut radikal, itu berarti definisi mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya sudah menjanjikan bahwa orang yang berpegang kepada Al-Qur’an dan hadits, yang mempelajari Al-Qur’an dan hadits, ia tidak akan tersesat, ia akan terbimbing.

Allah mensifati Al-Qur’an ini sebagai hidayah. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾

Wahai manusia, telah datang kepada kamu peringatan dari Rabb kamu. Dan sebagai penyembuh apa yang ada di hati kamu dan sebagai hidayah dan rahmat untuk kaum Mukminin.” (QS. Yunus[10]: 57)

Bagaimana Al-Qur’an yang disifati oleh Allah sebagai hidayat, sebagai kesembuhan apa yang ada di hati dan sebagai rahmat untuk kaum Mukminin kemudian menjadi sumber munculnya radikalisme? Yang mengatakan demikian adalah pengikut hawa nafsu. Adapun yang mengikuti Allah, yakin kepada kehidupan akhirat dan menggunakan akal pikiran yang sehat, dia yakin bahwasanya syariat yang dibawa oleh Allah dan RasulNya ini adalah kebaikan. Syariat yang dibawa oleh Allah dan RasulNya adalah bimbingan yang terbaik, karena Dia adalah Allah pencipta alam semesta, pencipta manusia. Dan Allah mensifati dirinya sebagai Yang Maha Penyayang, Pengasih. Allah mensifati dirinya tidak pernah menyakiti hambaNya, Allah mensifati dirinya bahwa Dia Maha Adil, maka tentu ilmu yang berupa syariat Allah ini penuh dengan kasih sayang, penuh dengan keadilan dan tidak pernah mendzalimi.

Namun orang-orang dzalim yang mereka menginginkan kedzaliman di muka bumi ini menganggap bahwa syariat ini radikal atau yang lainnya.

Hadits ke-67

Dari Muawiyah -semoga Allah meridhainya- ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan kepadanya, maka Allah akan menjadikan ia fakih di dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan lafadz:

يا أيها الناسُ! إنما العلم بالتعلّمِ، والفقهُ بالتفقه، ومن يُرِدِ الله به خيراً يفقهه في الدين، و {إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ}

“Wahai manusia, sesungguhnya ilmu hanya bisa diraih dengan mempelajarinya, fikih hanya bisa diraih dengan cara bertafaqquh (berusaha untuk menjadi faqih), dan siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka Allah akan faqihkan ia dalam agama. ‘Dan sesungguhnya yang paling berhak untuk takut kepada Allah dari hamba-hambaNya hanyalah para ulama.`”  (HR. Thabrani)

Saudaraku sekalian, di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa tanda orang yang Allah inginkan kebaikan adalah dia dijadikan semangat untuk memahami agama, mendalami ilmu-ilmu Allah Jalla wa ‘Ala. Subhanallah.

Kebalikannya, orang yang tidak Allah inginkan kebaikan untuknya adalah orang yang dijadikan ia tidak mau mempelajari ilmu agama, dia tidak peduli dengan agama Allah, dia tidak mau mempelajari Al-Qur’an, tidak pula mempelajari hadits Nabi dan tidak mau mendalaminya kecuali yang sesuai dengan akal dan hawa nafsunya saja.

Subhanallah.. Hadits ini memberikan motivasi agar kita bersemangat dalam mendalami ilmu Allah Jalla wa ‘Ala; mempelajari Al-Qur’an, mempelajari hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mempelajari ilmu-ilmu alat untuk memahami Al-Qur’an dan hadits berupa bahasa Arabnya, ushul fiqihnya, ilmu balaghah, ilmu hadits, ilmu tafsirnya, demikian pula kaidah-kaidah fiqihnya yang itu merupakan ilmu-ilmu alat yang sangat membantu untuk memahami Al-Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kalau ternyata kita semangat untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut, berarti itu tanda Allah menginginkan kebaikan kepada kita. Tentunya bukan sebatas hanya semangat dalam menuntut ilmu, tapi juga semangat dalam mengamalkan ilmu. Karena ilmu tanpa amal menjadi ilmu yang tidak bermanfaat.

Kemudian dalam riwayat Thabrani Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ilmu itu bisa diraih dengan cara belajar.” Tidak seperti sebagian kelompok kaum muslimin yang punya keyakinan bahwa seseorang bisa dapat ilmu dengan cara bersemedi di Goa, merenung. Itu bukan cara menuntut ilmu, saudaraku. Menuntut ilmu itu dengan cara duduk di majelis ilmu. Duduk kepada seorang alim ulama yang kokoh keilmuan untuk memahamkan kepada kita tentang ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tentang matan-matan ilmu yang lainnya.

Adapun kemudian kita menuntut ilmu hanya sebatas dengan merenung atau otodidak, ini sangat-sangat tidak baik. Para ulama menyuruh kita berguru, duduk di majelis ilmu yang diasuh oleh para ustadz yang telah betul-betul kokoh dan dalam keilmuannya, di di mejelis para ulama yang betul-betul punya bashirah (pandangan yang sangat tajam terhadap Al-Qur’an, hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan pemahaman salafush shalih). Dengan seperti itu kita akan selamat, bi’idznillah.

6 Perkara dalam Mempelajari Ilmu

Al-Imam Asy-Syafi’i menasihati kita untuk mengambil 6 perkara dalam mempelajari ilmu Allah. Beliau mengatakan:

أَخي لَن تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ

“Saudaraku, kamu tidak akan bisa meraih ilmu kecuali dengan enam perkara.” Apa saja enam perkara itu?

1. Kecerdasan

Yang pertama ذَكاءٌ (kecerdasan). Karena orang yang tidak cerdas sulit untuk memahami ilmu. Oleh karena itu dalam kitab Syarah Aqidah Thahawiyah disebutkan bahwa kewajiban seorang muslim dalam menuntut ilmu disesuaikan dengan kecerdasan yang Allah berikan kepadanya juga. Artinya semakin dia cerdas maka semakin wajib dia mempelajari ilmu Allah Jalla wa ‘Ala. Kecerdasanmu jangan hanya sebatas untuk mendalami ilmu-ilmu dunia saja. Karena ilmu-ilmu dunia tidak menjamin dan membimbing Anda surga. Akan tetapi yang membimbing Anda ke surga adalah ilmu-ilmu Allah; ilmu Al-Qur’an, hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka dari itu gunakan kecerdasanmu untuk betul-betul memahami ilmu agama ini. Karena dengan itulah kita akan selamat di dunia dan akhirat, bi’idznillah.

2. Semangat

Yang kedua حِرصٌ (semangat). Sebab orang yang tidak semangat tidak akan mau menuntut ilmu. Dan semangat itu muncul dari rasa cinta. Sebab kalau kita tidak cinta, kita tidak semangat. Orang kenapa begitu semangat duit? Yaitu karena ada cinta kepada duit. Semakin kuat cintanya, semakin semangat dia dalam mencarinya.

Demikan juga semangat itu muncul dari rasa butuh. Ketika kita menganggap ilmu itu kebutuhan hidup, kebutuhan hati yang kita sangat membutuhkannya sebagaimana kita butuh kepada uang, makan dan minum.

Maka ketika kita jadikan ilmu sebagai kebutuhan hidup dan kita merasa cinta kepadanya, maka saat itu semangat itu akan membara, bi’idznillah.

3. Kesungguhan

Yang ketiga yaitu وَاِجتِهادٌ (kesungguhan). Terkadang ada orang semangat tapi kurang sungguh-sungguh di dalam mengkaji ilmu. Kesungguhan ini sangat-sangat kita butuhkan dalam menuntut ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tidak main-main.

Orang yang sungguh-sungguh akibat daripada dia menganggap ini adalah kebutuhan yang sangat ia butuhkan dalam hidupnya. Maka ia bersungguh-sungguh mencari kebenaran, dia bersungguh-sungguh mencari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Bekal

Yang keempat وَبُلغَةٌ (bekal). Karena untuk menuntut kita butuh uang. Pergi ke majlis ta’lim butuh uang, apalagi dizaman pandemi seperti ini. Untuk mengikuti kajian-kajian butuh internet, beli parabola dan alat-alat untuk menuntut ilmu yang lainnya.

5. Bimbingan seorang ustadz

Yang kelima اِرْشَادِ اُسْتَاذٍ (bimbingan seorang ustadz). Dan tentunya kita di dalam memilih ustadz yang hendak kita ambil ilmunya bukan sembarangan. Tapi yang betul-betul ahli di bidangnya. Imam An-Nawawi berkata: “Tidak layak bagi seorang penuntut ilmu untuk menuntut ilmu kecuali dari orang yang telah sempurna keahliannya.”

Lihat, konsultasi dengan ustadz-ustadz yang telah kokoh keilmuannya, mumpuni di bidangnya, lurus aqidah dan manhajnya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرِاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ الْأَصَاغِرِ

“Di antara tanda hari kiamat ilmu diambil dari al-Ashaghir.”

Kata Ibnul Mubarak (perawi hadits ini): “Al-Ashaghir yaitu ahli bid’ah yang menyesatkan.” Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa al-Ashaghir yaitu orang-orang yang dangkal ilmunya.

6. Panjangnya waktu

Yang keenam وَطولُ زَمانِ (panjangnya waktu). Kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menuntut ilmu. Hendaknya kita kuasai sedikit demi sedikit. Yang penting adalah kita kuasai. Terkadang ada orang yang ingin meraih ilmu dengan sekejap mata, tidak mungkin. Orang yang menuntut ilmu dengan secepat mungkin, biasanya hilangnya juga akan cepat sekali.

Kita mulai dari kitab-kitab yang kecil dulu, kita kuasai kitab tersebut, kita pahami betul, kita hafalkan. Lalu naik lagi ke jenjang berikutnya, kita kuasai terus. Kalau kita tidak lakukan itu, ilmu kita tidak akan kokoh selama-lamanya.

Hadits ke-68

Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -semoga Allah meridhainya- ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَضْلُ العلمِ خيرٌ من فضلِ العبادة، وخيرُ دينِكم الوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah. Sebaik-baik agama kamu adalah sikap wara’.” (HR. Riwayat Thabrani dalam Al-Ausath dan Al-Bazzar dengan sanad yang hasan)

Ibadah tidak akan lurus tanpa ilmu. Bahkan ibadah yang tidak didasarkan kepada ilmu Allah tidak akan diterima oleh Allah. Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan dua syarat diterimanya ibadah:

  1. ikhlas, dan kita tidak bisa ikhlas kalau kita tidak berilmu,
  2. mutaba’ah (sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Dan kita tidak mungkin sesuai dengan tuntunan Rasul tanpa ilmu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Shalatkan kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” Lalu bagaimana kita akan shalat seperti shalatnya Rasulullah kalau kita tidak menuntut ilmunya?

Rasulullah bersabda: “Ambil dariku manasik haji kalian.” Bagaimana kita akan berhaji seperti halnya haji Rasulullah kalau kita tidak menuntut ilmu? Bagaimana kita akan berakhlak seperti akhlak Rasulullah kalau kita tidak menuntut ilmu? Bagaimana kita akan beraqidah seperti aqidah Rasulullah kalau kita tidak menuntut ilmu?

Rasulullah mengatakan “Ilmu lebih baik daripada keutamaan ibadah,” lalu bukan artinya ilmu tidak diamalkan. Tapi artinya amal sangat membutuhkan ilmu. Sebelum beramal, kita menuntut ilmu terlebih dahulu. Makanya Imam Bukhari membawakan dalam shahihnya bab العلم قبل القول والعمل (Bab berilmu dulu sebelum berkata dan beramal). Artinya sebelum beramal, kita harus berilmu dulu apakah perbuatan kita sesuai dengan sunnah/tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atau tidak?

Saudaraku, agama kita tidak diletakkan pada akal dan perasaan. Akan tetapi agama kita berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka sebelum kita berbicara tentang agama, sebelum kita beramal, wajib kita menuntut ilmu dulu, kita pahami dulu ilmunya yang benar. Tentang ayat itu wajib kita pelajari dengan cara melihat kitab-kitab tafsir para ulama.

Keistimewaan ilmu lebih baik daripada keistimewaan ibadah. Hal ini karena dengan ilmu kita bisa mendapatkan pahala yang besar dengan sedikitnya ibadah. Tapi tanpa ilmu, maka kita bisa mendapatkan sedikit pahala meskipun ibadah kita banyak. Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَضْلُ الْعَالِم عَلَى الْعابِدِ كَفَضْلِ الْقَمر عَلى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

“Keutamaan ulama dibanding dengan ahli ibadah seperti perbandingan antara bulan dibandingkan dengan bintang-bintang.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Maka dari itu kita berusaha untuk terus menuntut ilmu dengan berniat untuk mengamalkannya. Sehingga ketika kita terus menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas beramal shalih, untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, insyaAllah Allah berikan kepada kita sesuatu yang luar biasa. Karena ilmu dan amal adalah sumber berbagai macam kebaikan, itulah shiratal mustaqim yang kita minta terus.

Bagaimana penjelasan selanjutnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian Hadits Tentang Menuntut Ilmu dan Keutamaan Para Ulama


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49579-hadits-tentang-menuntut-ilmu-dan-keutamaan-para-ulama/